shalat dhuha berjamaah
Terdapat riwayat dari Imam Ahmad dari jalur Az Zuhriy, dari Mahmud bin Ar Robi ‘, dari’ Itban bin Malik, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam baliau pernah shalat Dhuha di Rumah adat, lalu para sahabat berada di belakang beliau shallallahu’ alaihi wa sallam , lalu mereka ikut shalat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. [1]
Hadits tadi dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini dikeluarkan pula oleh Muslim dari riwayat Ibnu Wahb dari Yunus dalam hadits yang cukup panjang, tanpa menyebut “shalat Dhuha”. [2] Al Haitsami mengatakan bahwa para perowinya adalah perowi yang shahih. [3] Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih syarat Bukhari-Muslim. [4]
Namun apakah hadits ini dapat di jadikan sebagai dalil untuk melaksanakan shalat Dhuha secara rutin dan berjama’ah?
Lebih baik memahami kita memahami bagaimana hukum untuk melaksanakan shalat dhuha secara berjama’ah.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa boleh shalat dhuha berjama’ah atau sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan kedua cara ini, namun yang paling sering Beliau lakukan keberadaan munfarid (sendirian). Perlu kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik [5]; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas. [6]
Ibnu Hajar Al Asqolani saat menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang saat itu berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam , beliau rahimahullah mengatakan,
“Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.” [7]
An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan,
“Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut the ulama. ”[ 8]
Ada pertanyaan yang pernah diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengenai hukum do shalat nafilah (shalat sunnah) dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullah Menjawab,
“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah kadang-kadang kadang-kadang berjama’ah, maka hal itu karena ada petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu’ Abbas [9]. Seperti pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim [10], dan masih ada contoh lain semisal itu. ”[11]
Namun demikian, sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka, maka ini harus dikarena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau menyebutkan,
“Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajar orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka, maka ini lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang mengalokasikan contoh pada umatnya, -pen). ”
Kesimpulan:
Jadi kesimpulannya:
- Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, karyawan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“ Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena baik shalat adalah shalat seseorang di tempat tinggal kecuali shalat wajib. ”(HR. Bukhari no. 731)
- Tersedia shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih.
- Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, tetapi kadang-kadang.
- Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk mengajar orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.
Wallahu a’lam bish showab.